pexels-anna-tarazevich-5910768
Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Untuk Apa Anda Jadi Dokter?

It’s not about the money

Saya akan mencoba menjawab pertanyaan yang seringkali gagal dijawab oleh seorang investor: untuk apa Anda berinvestasi? Dan saya akan mengungkapkan hubungannya dengan alasan Anda jadi dokter.

Karena percayalah, walaupun blog ini bertajuk Dissecting Money, but it is NEVER about the money.

Some of you get it, some of you don’t.

Some of you will get it after reading this article.

Apa hubungannya berinvestasi dengan alasan kita dulu memutuskan untuk mengejar mimpi menjadi seorang dokter?

It’s not about you

Beberapa alasan yang mungkin terlintas di kepala Anda saat berpikir kembali “untuk apa saya masuk Fakultas Kedokteran” antara lain adalah:

  • Untuk memiliki taraf hidup yang baik
  • Agar punya pendapatan yang tinggi
  • Agar “dipandang” oleh orang lain/memiliki kedudukan profesi yang tinggi di masyarakat
  • Ingin membantu orang lain

Semuanya tidak ada yang salah, saya pun juga dulu menjadi dokter karena ingin punya uang yang banyak, tetapi saya tidak suka bekerja di balik komputer dan lebih senang banyak berbicara dengan orang lain, sehingga menjadi dokter adalah pilihannya. Namun perhatikan bahwa ada satu alasan yang berbeda di antara ketiga alasan yang lain: tiga alasan pertama adalah tentang kebutuhanku, sementara alasan terakhir adalah tentang manfaat keberadaan kita untuk kebutuhan orang lain.

So whether you’re still in medical school, during internship, doing a residency or practicing already – I want you all to think for a second:

Are you doing this for you, or for others?

Saya sangat berharap jawaban Anda adalah yang belakangan.

Mengapa? Karena saya sudah menjalani hidup sebagai seorang dokter internsip, dokter umum, residen dan bahkan sebagai seorang dokter spesialis: when you do all these just for yourself, IT GETS REALLY TIRING. Hari-hari terasa menjadi beban, pelayanan pasien menjadi seperti dikejar-kejar sesuatu (harus mencapai sejumlah tindakan per bulan, sejumlah pasien di poliklinik, dll).

Saya ingat sekali pengalaman menjadi dokter umum dulu sewaktu saya sedang menjalani minggu-minggu yang sangat melelahkan (jaga bangsal, menyambi jaga ruang HD dan menjadi asisten dokter spesialis orthopaedi) dan sedang kurang sehat, saya sampai mengalami gangguan cemas dan berkali-kali menanyakan ke diri saya sendiri: what are you doing these for?

Sampai di suatu titik di mana saya kembali disadarkan bahwa saya melakukan ini bukan untuk diri saya, tetapi untuk membantu orang lain.

Then and only then all my anxieties disappear into thin air.

Namun semuanya tidak berhenti di situ, seiring dengan perjalanan karir dan sekolah spesialis saya, saya merasa bahwa every now and then PASTI kita akan merasa “kehilangan arah” lagi dan menanyakan kembali apa tujuan kita melakukan semua ini, dan dapat disertai gangguan cemas lagi akan apa yang sebenarnya menanti kita di masa depan.

We just have to remind ourselves that we weren’t put in this world as doctors for our own reasons, but for others.

Dan biasanya, seluruh keraguan dan kecemasan itu pun akan pergi.

Puncak performa seorang dokter

Jika kita melihat data secara umum, maka dapat dikatakan bahwa puncak performa seorang dokter adalah pada saat dia menjalani karirnya di usia 40-55 tahun. Artinya pendapatan seorang dokter akan menanjak perlahan-lahan dari saat pertamanya mendapat gaji, sampai kemudian mencapai puncaknya pada rentang usia 40-55 tahun, sebelum akhirnya melambat lagi entah akibat penuaan atau memang membatasi diri sendiri.

Sekarang pertanyaannya berulang lagi bagi Anda (atau saya nantinya) yang berada di kelompok usia tersebut. Jika Anda masih berpraktik 6 hari dalam seminggu, menangani 40 pasien di poliklinik lebih dalam sehari, melakukan operasi 2-3 pasien per hari:

Untuk apa Anda membanting tulang seperti demikian?

Karena menurut saya omong kosong apabila Anda mengatakan bahwa Anda harus menangani 40-an pasien setiap hari di poliklinik karena Anda peduli terhadap mereka. I really think that to properly “help” a patient, you need to spend at least 15 minutes for each patient. Kalau Anda memiliki 40 pasien, artinya Anda membutuhkan waktu 10 jam per hari hanya untuk konsultasi pasien di poliklinik, which is obviously not doable for a human mind to do so.

To me really, based on experience, it just doesn’t make sense to have more than 20 patients in one outpatient sitting.

Jadi untuk apa Anda melakukannya di saat sudah jelas bahwa itu sudah di luar kemampuan berpikir seorang dokter, dan sudah waktunya Anda merekrut orang lain untuk membantu meringankan pekerjaan Anda?

I’ll leave that for you to answer.

Seperti yang saya jabarkan di atas, terkadang di dalam perjalanannya kita kehilangan arah. Bilanglah seseorang menjalankan pekerjaan habis-habisan seperti demikian demi mendapat gaji 3 digit atau >100 juta IDR setiap bulannya.

The question continues: memangnya untuk apa Anda membutuhkan uang sebanyak itu setiap bulannya?

  • Untuk menambah koleksi roadbike?
  • Untuk membeli mobil yang selama ini Anda impikan?
  • Untuk cepat melunasi cicilan rumah kesekian?
  • Untuk membayar biaya sekolah anak di luar negeri?
  • Karena belum kesampaian menyambangi seluruh negara di Eropa?
  • Kebutuhan per bulan memang sudah >50 juta?
  • the list goes on.

Nothing’s wrong with it.

I just want you to reassess as to why you’re doing all these.

Rediscovering love of medicine

Kembali ke pertanyaan di awal artikel ini, menurut saya pribadi, alasan utama saya berinvestasi adalah untuk menemukan kembali kecintaan saya akan dunia kedokteran. Lebih spesifiknya, mengenai unsur pelayanan daripada kedokteran itu sendiri. Cara utamanya adalah dengan mengatur dengan matang tujuan investasi saya dan bagaimana saya merencanakan untuk mencapai dana pensiun saya (tujuan investasi saya yang paling utama).

Dengan demikian, maka saya sudah menetapkan bahwa suatu hari (saat saya sudah mencapai tahap financial independence) saya akan tetap bisa berpraktik sebagai dokter yang melayani masyarakat dengan mengetahui bahwa dibayar ataupun tidak, tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap saya. Karena, uang untuk kebutuhan hidup saya dan keluarga saya sudah bisa saya dapatkan hanya dari imbal hasil pokok dana pensiun saya setiap tahun.

Kebijakan-kebijakan baru apapun yang dikeluarkan oleh rumah sakit atau pemberi kerja tidak akan memiliki pengaruh banyak terhadap keseharian saya. (I know for fact that most doctors are really annoyed with this stuff)

Saya tahu bahwa untuk mencapai tahap demikian saya memerlukan waktu >20 tahun memraktikkan cara hidup frugal, mengatur budget dengan baik dan rutin berinvestasi secara pasif. As heavy as it sounds: I’m more than happy and excited for each and one of those days in that 20-something years.

Biarkan saja sejawat-sejawat lain kejar-kejaran dengan hidup mewah dan Instagram posts-nya berkeliling dunia. Mungkin saya akan selalu tertinggal 5 tahun sebelum akhirnya bisa membeli PlayStation keluaran terbaru dan permainan-permainannya. Mungkin saya masih akan menyetir mobil yang saya gunakan sekarang 15 tahun lagi. Mungkin anak-anak saya pada tahap-tahap awalnya hanya bisa sekolah di sekolah dengan kurikulum nasional dan bukan internasional.

But one day, I’ll be able to help those in need of my help but without the financial capabilities, and say:

You can keep your money.

Just keep me in your prayers, if you will.

And that is my why.

What’s yours?


Apakah Anda masih merasa investasi itu hanya mengenai uang?
Apa yang menjadi dorongan utama Anda dalam studi/bekerja sebagai seorang dokter?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Anna Tarazevich from Pexels

www.domainesia.com

16 thoughts on “Untuk Apa Anda Jadi Dokter?”

  1. Keren dok.
    Thank you so much for sharing this. Ngebantu sekali untuk belajar jujur ke diri sendiri.

    Keep inspiring doc. Gb.

    Reply
  2. Exactly my thought!
    Saya juga mau jadi dokter yg bisa meluangkan waktu cukup untuk setiap pasien. Cukup pagi sampai siang di outpatient clinic dg 15-20 pasien, trus sorenya home visit 4-5 pasien.

    Tadinya mau investasi aktif dg berjualan, tapi kok dihitung-hitung modalnya belum cukup. Mau investasi pasif juga waktu baru lulus bingung mau mulai darimana. Akhirnya setelah baca-baca sedikit saya memutuskan mau investasi di reksadana, tapi juga bingung yang mana akhirnya tertunda terus. Baru akhirnya mulai setelah ada aplikasi yg memudahkan seperti b*b*t.

    Saya mau tanya bagaimana pendapat dokter soal menaruh dana darurat di reksadana yg low risk seperti pasar uang? apakah dokter menaruh dana darurat di tabungan biasa atau ada rekomendasi lain mungkin?
    Terima kasih.

    Reply
    • Memang ada yang ekstrim dok menganggap bahwa dana darurat itu harus hard cash. Tetapi menurut saya pribadi sih yang low risk seperti deposito maupun RDPU masih sah-sah saja dijadikan instrumen penyimpanan dana darurat.

      Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!