towfiqu-barbhuiya-05XcCfTOzN4-unsplash
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

KPR vs Cicilan Konsumtif

Pada dunia zaman sekarang yang sangat berorientasi kepada konsumen, godaan cicilan atau utang konsumtif pastinya cukup sulit untuk ditolak. Seakan-akan kita diberikan “jalan tol” untuk bisa mendapatkan semua hal yang kita inginkan, meskipun sebenarnya semua itu di luar kemampuan finansial kita. Walaupun membeli sesuatu dengan menyicil dapat memberikan kenyamanan, tapi tentunya akan ada sisi gelap dari risiko-risiko yang akan mengikuti kita, terutama jika kita mencicil untuk pembelian barang atau aset selain untuk kredit pemilikan rumah (KPR) dari rumah pertama yang akan kita tinggali. Pada artikel ini saya akan menjabarkan beberapa alasan mengenai mengapa bergantung pada cicilan untuk pembelian non-esensial bisa menjadi keputusan yang sangat berbahaya untuk keuangan kita.

Godaan gratifikasi instan

Nyamannya penggunaan kartu kredit maupun pinjaman online menawarkan kepada kita janji-janji akan gratifikasi yang instan. Pernahkah Anda berpikir di dalam hati:

“Saya sudah bekerja cukup berat beberapa bulan ini, saatnya untuk self-reward!

Dengan beberapa swipe dan klik di smartphone kita masing-masing, kita bisa saja langsung memiliki gadget terbaru, baju-baju fashionable, maupun liburan atau “healing” ke tempat dimana orang-orang sering berlibur dan muncul di Instagram feed kita.

Tentunya kemudahan akses ini akan secara langsung mengaburkan batas antara kebutuhan dan keinginan kita. Sehingga, gratifikasi instan yang ditawarkan oleh cicilan menciptakan suatu hal yang berbahaya, yaitu persepsi kesanggupan finansial yang tidak realistis. Selain itu, cicilan juga akan mendorong kita untuk terus melakukan overspending, sehingga kita akan menjadi terlalu terbiasa untuk “live beyond our means.”

Bunga tinggi dan utang yang terakumulasi

Jika Anda sudah mulai banyak mempelajari tentang imbal hasil dari bunga majemuk atau compound interest saat seseorang berinvestasi, maka imbal hasil yang merupakan arus kas positif ini memiliki musuh bebuyutan, yaitu bunga cicilan atau bunga kredit. Bunga cicilan ini memiliki sifat yang persis sama dengan bunga imbal hasil, bahkan bisa menggulung atau compounding juga, hanya saja bunga cicilan memiliki arus kas negatif, sehingga akan mengurangi jumlah uang Anda dan bukan menambahkannya.

Cicilan kartu kredit dan pinjaman lainnya (termasuk pinjaman online) biasanya memiliki tingkat bunga yang tinggi. Artinya, pada saat kita membeli sesuatu dengan cicilan, kita bukan hanya membayar untuk barang tersebut saja, tetapi juga mengumpulkan utang melalui beban bunga yang ditambahkan. Seiring dengan waktu, pembayaran untuk beban bunga ini bisa terakumulasi dan meningkatkan biaya yang harus kita bayarkan untuk mendapatkan barang tersebut secara signifikan.

Dampak terhadap skor kredit

Bagi yang belum familiar dengan apa itu skor kredit, pada dasarnya skor kredit adalah sebuah skor (angka) yang menunjukkan seberapa dapat dipercayanya seseorang dalam hal berutang dan membayar cicilan. Semakin tinggi skor kredit kita, maka status kita sebagai “pengutang” terbilang baik dan akan lebih mudah untuk disetujui jika kita mengajukan pinjaman (ke bank maupun ke lembaga lain).

Untuk apa seseorang harus memerhatikan skor kredit ini? Well, sebagai contoh hal yang paling penting adalah dalam hal pengambilan KPR. Jika kita mau mengajukan pinjaman ke bank untuk pembelian rumah dengan skor kredit yang buruk, maka jangan harap bank akan mengabulkan pinjaman tersebut. Contoh lain adalah jika kita hendak meminjam uang ke bank untuk alasan modal usaha.

Kembali ke cicilan konsumtif, utang cicilan kartu kredit yang “terbawa” (dalam arti tidak dibayarkan tepat waktu) dalam jumlah yang tinggi akan memiliki dampak negatif terhadap skor kredit kita. Skor kredit yang rendah dapat berujung kepada bank/lembaga pinjaman memberikan tingkat bunga yang lebih tinggi pada pinjaman kita di masa depan, sehingga beban kita dalam mencicil akan menjadi semakin mahal. Ini akan berpengaruh besar tidak hanya ke kemampuan kita untuk membeli sesuatu dengan cicilan, tetapi juga prospek untuk mendapatkan tingkat bunga yang rendah pada pinjaman-pinjaman yang umum, seperti KPR ataupun kredit mobil. Maka dari itu, pembelian dengan cicilan yang tidak terbayarkan tepat waktu dapat menginisiasi reaksi berantai yang akan membatasi fleksibilitas keuangan kita.

Beban bunga yang menumpuk

Seiring dengan pembelian konsumtif yang semakin bertambah, maka jumlah utang yang kita miliki pun bisa saja menumpuk sampai ke titik dimana kita sendiri akan kebingungan untuk melunasi yang mana terlebih dahulu. Sesuatu yang awalnya terlihat seperti pembelian impulsif yang “kecil-kecil” bisa menumpuk perlahan dan tiba-tiba menjadi bukit utang yang sulit untuk dilewati. Imbasnya? Tanpa kita sadari porsi untuk pembayaran cicilan sudah mengambil porsi terbesar dari gaji kita setiap bulannya.

(FYI, debt-to-income ratio yang baik adalah sekitar 34%, artinya jumlah maksimal untuk pembayaran cicilan agar keuangan kita terbilang “sehat” adalah 34% dari jumlah gaji bulanan)

Sementara, cicilan konsumtif melalui kartu kredit biasanya menawarkan kita untuk bisa “membayar minimum” setiap bulannya, dan bahkan menawarkan untuk memperpanjang periode cicilan kita. IT’S A TRAP!

YOU SHOULD NEVER, EVER, EVER, PAY MINIMUM ON YOUR CREDIT CARD BILL!

Jangan sampai masuk ke jebakan ini, karena jika kita sudah terjebak di dalam beban bunga yang menggulung, akan sangat sulit untuk keluar dari jebakan utang ini dan kembali memiliki kondisi keuangan yang stabil.

Tujuan finansial yang tertunda

Membeli suatu barang dengan cicilan dapat menjadi penghambat utama dalam misi kita mencapai tujuan-tujuan finansial yang telah ditetapkan. Sebagian dana dari gaji yang seharusnya kita sisihkan untuk dana darurat, tabungan khusus ataupun investasi malahan jadi harus direlakan untuk membayar cicilan atau bahkan beban bunga yang menggulung. Pengalihan arus dana ini tentunya akan memperpanjang horison kita menabung sebelum akhirnya tercapai tujuan-tujuan finansial seperti membeli rumah, dana pendidikan anak, ataupun dana pensiun. Semakin lama waktu yang kita butuhkan untuk melunasi cicilan yang menumpuk, akan semakin mundur pula tenggat waktu pencapaian tujuan-tujuan finansial kita.

So don’t ever think those “tiny” expenses won’t matter. They matter a lot.

Pengecualian: KPR rumah pertama

Meskipun risiko-risiko terkait membeli sesuatu dengan cicilan sudah dijabarkan di atas, tetapi ada pengecualian untuk pengambilan KPR untuk rumah pertama yang akan kita tinggali. Mengapa demikian? Berikut ini saya akan menjelaskan poin-poin mengapa it’s still considered okay untuk mencicil demi mendapatkan rumah pertama yang akan kita tinggali.

Jaminan kolateral

Salah satu faktor paling signifikan yang membedakan KPR rumah pertama dengan cicilan-cicilan konsumtif lain adalah jaminan kolateral. Pada saat kita mengambil KPR, rumah itu sendiri berlaku sebagai jaminan kolateral untuk cicilan tersebut. Artinya, apabila sang peminjam gagal melunasi cicilannya (default), maka pemberi pinjaman memiliki hak legal untuk membatalkan kepemilikan rumah tersebut dan menjualnya kembali ke orang lain.

Aset yang bertambah harganya (apresiasi)

Tidak seperti cicilan konsumtif lain seperti utang kartu kredit atau pinjaman online, pengambilan KPR mengakibatkan sang peminjam memiliki sebuah tambahan aset: sebuah rumah. Seiring dengan waktu, secara umum rumah sebagai aset real estate atau properti memiliki potensi untuk mengalami kenaikan harga. Hal ini berarti bagi sang pemilik rumah, ini dapat dianggap sebagai sebuah investasi yang potensial, dan secara bersamaan juga memberikan keamanan kepada pemberi pinjaman.

Gaya hidup dan kebutuhan

Rumah yang kita tinggali berdiri tidak hanya sebagai aset finansial, tetapi juga menjadi alas, tembok dan atap tempat kita dan keluarga tinggal, sehingga merupakan salah satu dari 3 kebutuhan utama manusia (sandang, pangan, papan). Tidak seperti cicilan konsumtif lain yang biasanya digunakan untuk membeli keinginan (wants), KPR diambil untuk mengamankan lahan untuk kita dan keluarga tinggali. Akibatnya, karena KPR ini masuk ke dalam kebutuhan dasar, maka komitmen dari kita sebagai peminjam biasanya lebih tinggi, dalam arti kita akan lebih disiplin dalam melunasi pembayaran cicilan setiap bulannya.

Legalitas dan peraturan lebih jelas

Peraturan untuk KPR merupakan subyek dari peraturan yang sangat spesifik dan diawasi ketat oleh banyak lembaga: Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, bahkan Pemerintah Pusat/Daerah. Mengapa? Karena KPR memiliki peran yang sangat penting di dalam roda ekonomi, dan dapat berdampak luas terhadap kesejahteraan bangsa (sebagaimana telah terbukti di dalam subprime mortgage crisis yang terjadi tahun 2008). Peraturan-peraturan yang melingkupi KPR ini tentunya akan menghasilkan praktek pemberi pinjaman yang lebih dituntut untuk bertanggungjawab dan melindungi kita sebagai konsumen dari pinjaman-pinjaman yang bersifat “predator.”

Stabilitas ekonomi

Harga pasar perumahan yang stabil seringkali dilihat sebagai sebuah tanda kestabilan keadaan ekonomi negara tersebut. Maka dari itu, pemerintah dan bank sentral seringkali memiliki dukungan atau bahkan insentif-insentif lebih kepada peminjam karena ini akan berujung kepada pertumbuhan ekonomi negara secara menyeluruh.

Sekian, docs.

Meskipun dunia yang penuh dengan tawaran cicilan ini menawarkan kenyamanan dan fleksibilitas, tetapi sangat penting untuk kita ketahui jurang-jurangnya. Selain cicilan untuk rumah pertama yang akan kita tinggali, membeli dengan mencicil dapat berujung kepada pembayaran beban bunga yang berlebih, akumulasi utang, dan bahkan melukai tujuan-tujuan finansial kita. Pengaturan keuangan yang bertanggungjawab memerlukan kita untuk mengerti lebih dalam tentang akibat jangka panjang dari mengambil cicilan, memrioritaskan kebutuhan daripada keinginan, dan pendekatan yang lebih mengarahkan kita ke menyisihkan uang kita untuk membangun kekayaan secara perlahan.

Dengan pengambilan keputusan yang bertanggungjawab dan mempertimbangkan efek dari cicilan terhadap keadaan keuangan kita secara keseluruhan, niscaya kita dapat merencanakan masa depan yang lebih aman dan makmur untuk kita maupun keluarga/tanggungan kita.


Apakah Anda memiliki cicilan konsumtif di luar KPR?
Apakah cicilan tersebut terlunasi setiap bulannya?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash

www.domainesia.com

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!