loic-leray-fCzSfVIQlVY-unsplash
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Work-Life Balance Dokter

Topik ini cukup sering ditanyakan kepada saya, yaitu bagaimana seseorang (khususnya dokter) bisa memiliki work-life balance atau dengan kata lain hidup yang seimbang antara pekerjaan dan menikmati hidup?

Sehingga, di dalam artikel ini akan saya jabarkan beberapa poin yang menurut saya penting untuk dipikirkan apabila seseorang ingin memiliki work-life balance di dalam kehidupannya, dari kacamata seorang dokter spesialis.

Sebelumnya mungkin saya ingin meluruskan dulu bahwa jika kata “work” mengandung makna yang sudah cukup jelas yaitu bekerja untuk mencari uang untuk kebutuhan hidup, di sisi lainnya kata “life” bisa jadi suatu istilah yang subjektif.

Namun, sebagai kesepakatan di awal agar sejawat dan pembaca bisa lebih memahaminya, pada saat saya bicara mengenai “life,” maka yang saya maksud adalah menikmati hidup bersama keluarga, memiliki waktu untuk olahraga/hobi, punya waktu istirahat yang cukup/liburan, dsb.

Mengapa harus diluruskan? Karena mungkin ada beberapa orang yang berpikir bahwa “life” adalah ke bar bersama teman-teman dan minum-minum setiap akhir pekan atau ke klab malam untuk berdansa.

Ini bukanlah gambaran “life” yang saya maksud, karena bagi saya hal-hal ini hanya merupakan upaya untuk membalas dendam terhadap fakta bahwa seseorang sangat tidak menikmati hari-hari kerjanya setiap Senin-Jumat (atau bahkan Sabtu dan Minggu).

You can party hard and get drunk all you can, yet still it wouldn’t give you that essence of “life” you’re longing for.

Now that we’ve got those definitions of “life” out of the way, let’s go find what work-life balance is all about.

Balancing is an act!

Pada saat saya mengemukakan akan membahas mengenai ini di Instagram, adik saya langsung kirim direct message dan mengatakan “there’s no such thing as work-life balance.”

Which is true.

Lihat gambar utama dari artikel ini di atas. Everything that is “balanced” requires effort: seseorang yang menyeimbangkan diri berjalan di atas tali melewati ngarai, seorang badut yang menyeimbangkan piring dengan memutarnya di atas tongkat, seorang pasien pasca penggantian sendi lutut yang sedang latihan berjalan menggunakan tongkat, dan sebagainya.

Pada saat usaha atau energi yang ada tidak berhasil menjaga keseimbangan, maka barang yang diseimbangkan pun akan miring ke satu sisi dan berisiko terjatuh.

Balancing is an act.

Keseimbangan perlu dijaga dengan usaha. Sehingga, menurut saya memang tidak tepat jika kita sebut sebagai “work-life balance,” tetapi yang ada adalah “work-life balancing.” Dan work-life balancing ini bukanlah sebuah momen yang kita capai dan akan terus begitu selamanya, tetapi merupakan suatu hal yang dynamic, yang memerlukan usaha kita untuk terus menjaganya.

Butuh pengorbanan

Bukan hanya membutuhkan usaha, tetapi work-life balancing itu memerlukan pengorbanan. Karena tidak mungkin dua anak yang bermain jungkat-jungkit bisa menikmatinya kalau ada satu anak yang tidak berkorban untuk sesekali harus berada di bawah.

To balance work with life, sometimes you just need to let go of something.

Tidak praktik di hari Sabtu yang disebut orang-orang sebagai “hari praktik sedunia.”

Tidak menghabiskan ketiga surat izin praktik (SIP) di 3 RS berbeda agar tidak diburu-buru untuk bekerja di RS lain setiap harinya.

Mengorbankan dua pagi/sore hari di dalam seminggu untuk berolahraga.

Menutup praktik sesekali untuk dinner/movie date bersama ayah/ibu/suami/istri/anak.

Dan seterusnya…

Most times, the bitter truth is this:

The more you chase money, the more it steers you away from life.

Sayangnya, saat pencarian kerja, kebanyakan orang terlalu terpaku pada nominal gajinya dan sangat jarang seseorang akan memikirkan bagaimana keseharian yang akan dia jalani nantinya.

Perlu dimulai sedini mungkin

Awalnya saya enggan menuliskan artikel ini karena merasa saya hanyalah seorang dokter spesialis yang baru lulus “kemarin sore,” dan belum merasakan asam-garam mencoba menyeimbangkan hidup sebagai seorang dokter.

Namun, setelah saya pikir-pikir lagi, justru menurut saya work-life balancing itu harus diterapkan sedari awal kita memiliki komponen “work” di dalam kehidupan kita. Karena coba saja bayangkan: seorang dokter spesialis yang sudah memiliki pekerjaan utama di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) yang mengharuskannya untuk ada di rumah sakit (RS) dari pagi hingga sore, Senin-Jumat, lalu berpraktik juga di RS swasta lain sore-malam hari dan hari Sabtu sudah pasti akan mengalami kesulitan dalam mencoba untuk menyeimbangkannya dengan porsi “life” di dalam kehidupannya.

It is much easier to set something up from the start than try to change it later.

Jika Anda adalah seorang mahasiswa kedokteran, maka berdasarkan pengalaman saya masa-masa internship adalah masa yang paling tepat untuk mulai mencoba menyeimbangkan dinamika work-life ini.

Jika Anda sudah menghabiskan 1 tahun masa internship tanpa bisa mengatur kapan harus berolahraga, berapa lama waktu lazim untuk main game, bagaimana mengatur waktu tidur yang cukup, kapan waktu yang harus diluangkan untuk bersama teman/keluarga, maka itulah yang akan menjadi fondasi kehidupan Anda sebagai dokter yang bekerja/berpraktik nantinya.

You are going to be who you were as an internship doctor.

So, for all medical students, you’ll get a chance to turn your life around and make it count. I recommend you take it.

Tidur cukup dan olahraga teratur bukan pilihan

I cannot stress these enough:

Enough sleep and routine exercise are MANDATORY to work-life balancing.

Jadi, tidur cukup dan olahraga teratur di dalam kehidupan seorang dokter adalah sebuah keharusan, bukan merupakan sebuah opsi yang bisa dipilih. Jika dan hanya jika Anda bermimpi ingin merasakan yang namanya work-life balance. But if you want to just give your all to work every day and die one day, be my guest.

Tidur yang cukup akan memberi waktu sel-sel tubuh Anda untuk beregenerasi, dan olahraga akan merangsang tubuh Anda untuk mengeluarkan dopamin, sehingga akan menjauhkan Anda dari perasaan burnout.  Saya kira saya tidak perlu lagi menjabarkan dengan mendetil mengenai aspek-aspek medis dari kedua fakta ini karena begitu banyak bisa Anda temukan di internet.

Most people think exercising means less energy. But, quite the contrary: routine exercise gives you more energy! It also helps you get better sleep quality (which most doctors are lacking).

Jadi apakah bekerja keras untuk mencari uang itu baik? Tentu saja.

Namun apabila bekerja keras mencari uang berarti kita tidak memiliki tidur yang cukup dan tidak memiliki waktu untuk berolahraga, mungkin kita harus berpikir ulang: jangan-jangan teman lama kita si Uang sudah meracuni pikiran kita dan bahkan mendikte cara kita menjalani hidup hari demi hari.

Time away from smartphones

Bagi yang belum membacanya, saya sarankan untuk membaca terlebih dahulu dua artikel di bawah ini:

Setelah membaca kedua artikel di atas, maka Anda akan mengetahui bahwa screen time atau waktu yang Anda gunakan untuk melihat layar gadget perlahan-lahan menggerogoti waktu Anda (yang sudah sangat terbatas).

Apa yang akan terjadi jika hal tersebut terjadi kepada seseorang yang pada dasarnya sudah mengalami work-life imbalance? Tentunya waktu yang sudah sedikit untuk porsi “life” malah semakin terkikis dan akan semakin sulit untuk seseorang bisa menyeimbangkannya kembali.

Pada saat “work” sudah mengambil porsi cukup banyak dalam kehidupan Anda, maka hal-hal yang harusnya Anda lakukan jika Anda memiliki waktu luang adalah:

  • Pulang ke rumah (quite obvious, but I know a lot of you would rather go somewhere else than home)
  • Berbincang dengan ayah/ibu/suami/istri/anak
  • Bermain bersama/menemani anak belajar
  • Membaca buku
  • Olahraga

Which, really, is what “life” is all about.

Tidak peduli seberapa mewah hadiah yang Anda berikan, atau liburan elit macam apa yang Anda rencanakan setahun dua kali untuk keluarga, tidak akan bisa memberikan komponen “life” dalam kehidupan Anda sebanyak hal-hal kecil di atas.

So, don’t just be a couch potato, glued to your gadgets.

Those are all, docs.

Mudah-mudahan poin-poin di atas dapat membantu sejawat dan pembaca untuk bisa menarik dan mengulur antara “work” dan “life” dengan baik sehingga bisa mempertahankan titik work-life balance di dalam hidup sehari-hari.


Apakah Anda setuju istilah work-life balancing lebih tepat?
Apa pengorbanan yang Anda belum berani ambil demi mendapatkan work-life balance?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Loic Leray on Unsplash

www.domainesia.com

16 thoughts on “Work-Life Balance Dokter”

      • Banyak banget perubahan di tahun ini.
        Aku orang yang gila kerja, ga bisa diem, ga bisa ngeliat sesuatu ga dikerjain dengan bener. Sudah 3 tahun kerja di RSUD, baru 2 bulan ini nemu Work-Life Balance.

        Dulu semua fungsional dan kerjaan tambahan di struktural dikerjain sendiri. Ternyata sampe ga pernah merhatiin kesehatan diri sendiri, dari PCOS, Aritmia, Hyperkoagulasi, Covid, sampe akhirnya GAD dibantu Psikiater, baru bener-bener mata terbuka soal Work-Life Balance.

        Sekarang, bisa fitness dan lari tipis tipis, percayakan kerjaan bisa didelegasikan ke team yang lain, short escape ke pantai sama gunung.

        Dan tulisan ini related banget sama aku dok !!! Keren sumpah ! Thank you 🙂

        Reply
  1. Hai, saya dokter umum yg baru selesai internship tahun lalu, sekarang saya bekerja sebagai dokter IGD di klinik swasta, dimana jumlah pasien saya sangat sedikit, sehingga berpengaruh ke pendapatan saya. Namun dari sisi waktu kerja, saya rasa sudah cukup, 42 jam/minggu, jadi waktu untuk olahraga dan kegiatan lain juga saya rasa sangat cukup.
    Baru saja saya ditawarkan untuk mengisi lowongan tambahan di klinik yg sama, yg berarti waktu kerja bertambah namun potensi pendapatan lebih belum tentu jelas (I simply wait for patients to come, if any)..
    Menurut anda, apakah saya harus menerima tawaran tersebut? ??

    Reply
    • Menurut saya sih setiap opsi untuk menambah income itu bagus, asal jangan sampai gagal melakukan “balancing” lagi nantinya. Kalaupun ternyata nanti dianggap terlalu berat, ya tinggal take a step back dan review lagi, lowongan2 seperti itu kan (menurut pengalaman saya) mudah diambil dan mudah kalau mau dilepas juga.

      Good luck!

      Reply
  2. hampir 10 tahun jadi dokter spesialis dan hanya menggunakan 2 SIP, selalu mulai kerja paling pagi jam 9 dan pendaftaran terakhir jam 5 sore. Rata2 praktek per hari 6 jam doang jadi makan malam sering di rumah. Saya percaya yang namanya rezeki bukan hanya masalah keuangan tapi kesehatan, keluarga, waktu luang dan teman2 sekitar adalah rezeki yang bukan dinilai secara nominal tapi punya value yang besar. Jadi setuju banget hidup itu harus dinikmati, kerja dengan baik dan benar maka rezeki akan dicukupkan, kerja pontang-panting pun kalau rezeki bukan takdirnya maka ya tetep aja gak akan menambah income sesuai yang diharapkan.

    Reply
  3. halo dok gua dokter umum dok, kebetulan gua suka konten lu dok untuk pembahasan dari sisi dokter hehe emng beda kalau latar tiap orang beda2 dan cara mempersiapkannya beda2 tapi gua juga menerapkan work life balance dok mungkin ada yg bilang gua masih terlalu muda buat kurang kerja keras tp waktu untuk keluarga ternyata lebih berharga dok. kebtulan gua juga ngisi waktu kosong dgn side hustle dgn belajar ngoding dok tp ya itu dgn kegiatan gua sendiri tanpa bayaran apapun dan lebih enjoy..

    Reply
  4. Percaya saja, rejeki nggak akan tertukar. Walaupun jam kerja makin sedikit, tapi rejeki (salah satunya pendapatan, dan waktu luang) malah naik. Gimana tuh?

    Reply
  5. Dok kami salah satu dokter umum di daerah, di mana susah melaksanakan work life balance ini..
    Setiap hari kami seperri fi paksa kerja minimal 8 jam sehari dari senin-sabtu dan juga di luar itu masih di tambah dg jaga malam yg di hitung lembur. Belum lagi kami harus mengerjakan tugas para dokter sp kami di daerah yaitu melakuan soap pasien mereka dimana ketika mereka masuk sisa tanda tangan di atas soap kami.. bukan merupakan masalah jika jasa kami di hitung yang menjadi masalah adalah jasa kami tdk di hitung sm skali… bagaimana kami bisa work life balance dok? Mohon pencerahannya terimakasih…
    *NB kami sudah pernah diskusi dan jika menentang keputusan mereka akan di cari alasan unk di pindahkan ke puskesmas.

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!