pexels-marlon-trottmann-5819302
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Reksa Dana atau Saham?

Pertanyaan ini hampir selalu muncul di setiap seminar mengenai finance dan investasi dan juga di media sosial: lebih baik investasi di reksa dana saham atau langsung beli sahamnya?

Tentunya sejawat dan pembaca yang sudah mengikuti artikel-artikel saya sudah mengetahui bahwa instrumen investasi pilihan saya untuk mencapai dana pensiun adalah reksa dana saham, atau lebih spesifik lagi: reksa dana indeks.

Sehingga yang akan saya bahas di artikel ini adalah alasan-alasan mengapa saya lebih memilih untuk berinvestasi di reksa dana indeks dibanding mencoba memilih-milih emiten saham sendiri atau yang lebih dikenal di luar sana sebagai metode value investing.

Even professionals fail to beat the market

Sudah berulang kali saya ungkapkan di blog ini, bahwa secara statistik, keberhasilan dari mencoba memilih-milih emiten saham sendiri dan berharap mengalahkan return dari bursa saham (market) secara keseluruhan itu sangat kecil.

Selanjutnya, saya akan mengajak sejawat untuk mendalami lagi siapa yang dimaksud sebagai “profesional” di bidang finance dan siapa yang disebut sebagai “amatir.”

Investor yang tidak memiliki gelar apa-apa di bidang keuangan dan tidak bekerja untuk perusahaan manajemen aset, atau dengan kata lain “amatir,” dikenal di dunia finance sebagai investor ritel.

Sementara, mereka yang memiliki gelar tertentu di bidang ekonomi seperti certified financial analyst (CFA), di dalam perjalanan karir mereka pun akan memiliki titel-titel lain yang sangat fancy, seperti: Junior Financial Analyst, Senior Financial Analyst, Analyst Level I, II, III, or IIV, Manager, Director, Vice President (VP), Research Analyst, Quant Analyst, FP&A Analyst, Corporate Development Analyst, Equity Research Analyst, Investment Banking Analyst, Credit Analyst, dan lain sebagainya. Mereka-mereka inilah yang disebut sebagai “profesional” di dunia finance, dan biasanya mereka akan dipekerjakan oleh bank, perusahaan asuransi, perusahaan sekuritas, maupun perusahaan manajemen aset (manajer investasi reksa dana).

Dengan pengertian di atas, maka sejawat dan pembaca sekarang sudah dapat menarik kesimpulan bahwa artinya manajer investasi reksa dana yang memiliki pendekatan aktif (terus-menerus mencoba mengalahkan return dari market) PASTI terdiri dari tim analis yang dikenal sebagai profesional di bidangnya.

Tim inilah yang kemudian 24 jam/7 hari mencoba menganalisa bursa saham, sentimen-sentimen pasar, perekenomian negara-negara, dan lain sebagainya, untuk mencoba mengalahkan return dari market.

Dan inilah statistik pahitnya:

90% dari manajer investasi dengan pendekatan aktif akan GAGAL mengalahkan return dari market dalam jangka panjangnya.

(Diambil dari SPIVA)

For your information, data ini pun terekspos survivorship bias, dimana produk reksa dana yang “kandas” dan tutup buku sebelum usianya mencapai periode >10 tahun akan otomatis tereksklusi dari perhitungan, sehingga angka aktualnya kemungkinan besar akan lebih dari 90%.

(CATATAN: Sangat umum untuk sebuah perusahaan manajemen aset meluncurkan 5 produk reksa dana secara bersamaan dan kemudian berpikir “lihat saja nanti bagaimana” dan menutup 4 produk yang gagal, melanjutkan 1 produk yang “berhasil” dan kemudian membangga-banggakan keberhasilan dari 1 produk yang “lolos” ini dalam mengalahkan return market)

Jadi, pada dasarnya:

Jika mereka yang disebut sebagai profesional saja gagal dalam memilih-milih emiten saham individu, apa yang membuat kita sebagai investor ritel berpikir bahwa kita akan bisa memilih-milih emiten saham sendiri dan mengalahkan market?

Semua orang bisa berlatih tinju, tapi tidak semua orang dapat menjadi Floyd Mayweather Jr.

Semua orang bisa berlatih sepakbola, tapi tidak semua orang dapat menjadi Cristiano Ronaldo.

Yet in the financial world, EVERYONE thinks they’re the next Warren Buffet or Ray Dalio.

Saya telah mempelajarinya dan sepenuhnya menyadari bahwa saya tidak mungkin menjadi Lo Kheng Hong berikutnya, dan kemungkinan besar Anda pun demikian.

Jadi lebih baik saya menaruh uang saya secara pasif berkala di reksa dana indeks dan mencoba untuk menangkap return dari market saja. Toh itu semua sudah saya hitung dan ternyata tetap bisa mencapai tujuan-tujuan investasi saya.

Your money? Your rules.

If and only if you are confident that you can beat the market

Jadi apakah sudah tidak ada lagi tempat untuk mereka yang memegang prinsip value investing?

Dari fakta-fakta yang sudah saya jabarkan di atas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa mereka yang ingin memilih sendiri emiten-emiten sahamnya sebagai investor ritel tentu saja diperbolehkan, asalkan sudah memiliki kepercayaan diri/strategi yang sudah terbukti bisa mengalahkan return dari market dalam jangka panjangnya.

Yang saya mau ingatkan melalui poin-poin sebelumnya adalah bahwa ini tidak akan menjadi hal yang mudah, apalagi untuk seseorang yang tidak memiliki latar belakang apa-apa di bidang finance.

Who am I kidding?

Bahkan untuk mereka yang bergelar sarjana dari Fakultas Ekonomi, bahkan bergelar certified financial planner pun belum tentu bisa memiliki pemikiran yang rasional dan memperhitungkan fakta-fakta di atas.

Apalagi dokter yang merasa setelah lulus dirinya akan otomatis bisa berhasil dalam pengaturan keuangan, investasi maupun bisnis. Raksasa-raksasa di dunia finance sudah siap menginjak-injak kita dan mengambil uang kita sejak detik pertama kita menaruh uang kita di market.

Salah seorang pembuat konten finansial di Instagram (orang Indonesia) pun menceritakan perjalanannya memilih-milih emiten saham sendiri dan menyatakan bahwa beliau baru bisa mengalahkan return dari market pun setelah tahun ketujuh perjalanan investasinya. Dan jangan pernah lupakan bahwa tidak cukup untuk hanya berpuas diri karena Anda berhasil mengalahkan return market dalam satu tahun tertentu, Anda harus berhasil mengalahkan return dari market secara konsisten setiap tahunnya.

I don’t know about you, but it sure sounds closer to being impossible for me.

Uncompensated and unsystematic risk

Mulai dari sini mungkin akan sedikit lebih teknis dan mendalam, itulah alasannya saya memberitahu statistik-statistik yang lebih mudah dimengerti terlebih dahulu di awal.

Pertama-tama, saya ingin sejawat dan pembaca memahami dulu apa itu uncompensated dan unsystematic risk. Sebelum kita bisa memahami apa itu uncompensated risk, sebelumnya kita musti memahami dulu apa itu compensated risk.

Compensated risk adalah risiko di dalam berinvestasi yang, jika kita ambil, diharapkan (bukan dijamin) akan meningkatkan return dari portofolio Anda.

Sehingga, sebaliknya:

Uncompensated risk adalah risiko yang diambil oleh investor tetapi tidak meningkatkan (atau bahkan dapat menurunkan) return dari portofolionya.

Sementara, unsystematic risk adalah risiko yang unik/spesifik terhadap suatu perusahaan atau suatu sektor industri.

Here comes the kick..

Membeli emiten saham individu adalah cara berinvestasi yang membuat Anda terpapar terhadap uncompensated dan unsystematic risk!

Mengapa? Karena portofolio investasi Anda menjadi tidak cukup terdiversifikasi. Risiko yang mengikuti Anda saat Anda mencoba memilih suatu emiten saham SANGAT TINGGI, dan tidak diikuti dengan kompensasi return yang sebanding dengan risiko yang Anda ambil.

Bayangkan jika saya sebagai investor ritel menaruh seluruh uang saya di salah satu emiten saham karena jargon “menabung saham” yang seringkali dikumandangkan. Artinya saya betul-betul mempertaruhkan semuanya terhadap industri, perusahaan dan orang-orang yang menjalankan perusahaan tersebut, untuk risiko return yang tidak terkompensasi sesuai dengan risiko-risiko tersebut.

“Ah, saya tidak sebodoh itu dan tentunya tidak akan memilih satu saham saja, tapi juga beberapa saham lain sehingga saya terdiversifikasi.”

Hampir semua pelopor value investing di Indonesia yang saya amati “hanya” menyarankan para pengikutnya untuk melakukan diversifikasi ke 5 emiten saham berbeda. Yang mana, menurut saya, risiko yang diambil para investor tetap masih terlalu tinggi karena hanya terdiversifikasi ke 5 emiten, dibandingkan saya yang tinggal membeli reksa dana indeks yang mengacu ke indeks IDX30 dan artinya saya otomatis terdiversifikasi ke 30 emiten saham berbeda (yang notabene merupakan emiten-emiten penggerak utama bursa saham di Indonesia).

False premise

Poin berikutnya yang menurut saya seringkali menuntun para investor pemula ke jurang kehancuran adalah premis yang pasti sering sekali Anda lihat/dengar di luar sana:

Kalau kita investasi 100 juta IDR di saham xxxx (isi dengan kode emiten favorit Anda) sejak tahun 1990, maka uang Anda sekarang sudah menjadi xxxx (isi dengan nominal uang yang sensasional) juta IDR karena rerata return per tahunnya 33%.

I hate those false premises.

Mengapa? Karena premis ini betul-betul mengesampingkan semua aspek psikologis yang dialami oleh investor saat menjalaninya. Mudah untuk oknum yang membuat premis tersebut bicara demikian karena momennya sudah lewat dan dia sudah mengetahui return sebenarnya berapa dari investasi di saham tersebut. Ini adalah sebuah pemikiran retrospektif.

Namun, cobalah berpikir berandai-andai secara prospektif dan bayangkan jika Anda adalah seorang pekerja yang memang hanya punya tabungan 100 juta IDR di tahun 1990. Apakah Anda akan sepercaya diri itu menaruh seluruh uang tersebut di satu emiten saham saja?

Bagaimana jika di tahun ketiga ternyata market berjalan menyamping sehingga setelah 3 tahun return dari emiten tersebut masih negatif? Apakah Anda tidak akan takut dan kemudian keluar dan menjual rugi emiten saham tersebut?

Bagaimana jika di tahun kelima Anda berinvestasi muncul berita bahwa chief executive officer (CEO) dari perusahaan tersebut terlibat sebuah kasus, perusahaannya terkena masalah limbah lingkungan, atau sentimen negatif lain apapun yang bisa Anda bayangkan. Apakah Anda masih akan hold saham tersebut?

So now you see that those false premises are complete nonsense.

Betting it all on a stock (or just a couple) is just not a very wise thing to do.

It’s easy to calculate stuff when you know the actual return on investment of an instrument. Not so easy when you don’t.

Be a know-nothing investor

Last but not least, adalah poin terpenting yang sudah sering saya ungkapkan di blog ini saat membahas perencanaan mencapai financial independence, berinvestasi secara pasif di reksa dana indeks, maupun tujuan-tujuan investasi yang lain.

Dengan berinvestasi di reksa dana indeks, Anda tidak perlu melakukan apa-apa lagi!

Tidak perlu memperhatikan sentimen pasar.

Tidak perlu mempelajari laporan keuangan.

Tidak perlu pusing-pusing melihat dan menganalisa candlestick chart.

Tidak perlu stres memikirkan keputusan kapan harus beli dan kapan harus jual.

IHSG naik? I don’t care.

IHSG turun? I don’t care.

Just be a know-nothing investor!

Tinggal konsentrasi saja pada pekerjaan yang Anda miliki sekarang, berikan yang terbaik setiap hari, lakukan budgeting setiap habis gajian, nikmati akhir pekan bersama keluarga Anda, sembari memiliki rasa aman bahwa sebagian uang Anda sedang bekerja keras di market untuk mencari uang lagi untuk Anda agar tujuan investasi Anda bisa tercapai.

Jika Anda kebetulan adalah seorang dokter, saya akan menutup dengan pertanyaan retorik ini:

You have enough on your plates already, right?


Apakah Anda masih merasa mampu mengalahkan return market?
Apa yang membuat Anda masih sulit mempercayai reksa dana indeks?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Marlon Trottmann from Pexels

www.domainesia.com

11 thoughts on “Reksa Dana atau Saham?”

  1. Ga jg sih dok.. Sebagai individual investors kita punya banyak keunggulan dibanding para MI profesional, salah satunya waktu utk menunggu dan kemampuan utk hold. MI dievaluasi kinerjanya tiap thn, shg mrk lebih dpt insentif utk ngikutin market aja.. kl individual investors kan bebas g dievaluasi, thats how u beat the market.

    Reply
    • Silakan saja.

      Tapi RD saham (bukan indeks) itu bukan ngikutin market, mereka actively try to beat the market.

      Btw, beat the market itu artinya mengalahkan rerata return IHSG.

      RERATA.

      Jadi kalau cuma berhasil dlm tahun tertentu sama saja bohong. Coba kalahin rerata return market dalam 20 tahun……

      Reply
      • Pernah ada yang bahas berbagai performance index terhadap IHSG. Index IDX30 pun sebenarnya agak jauh di bawah IHSG performancenya. LQ45 juga sama aja. Reviewnya index yang menyamain IHSG cuma sri kehati.

        Jadi kayaknya kalau niat untuk menyamai pasar, kalau yang dipilih IDX30 tetep aja hasil akhirnya jauh di bawah pasar. memang yang ideal adalah IHSG nya lansung tapi productnya kan belum ada. Kalau dari awal milih langsung IDX30 kayaknya dari awal sudah mengikhlaskan bahwa performancenya di bawah market.

        Any thought untuk RDI sri kehati?

        Reply
        • Betul, memang sayangnya belum ada produk RD indeks yang tracking IHSG total.

          TAPI, kalau kita lihat motor utamanya IHSG ya member2nya IDX30 juga, jadi perbedaan sedikit terhadap return IHSG saya kira sudah sewajarnya, dan saya sendiri bisa terima keterbatasan ini.

          Lalu untuk data yang dibilang “agak jauh” di bawah market itu data dari mana? Karena return IDX30 jika disandingkan dengan IHSG seperti di bawah ini:

          IDX30 vs IHSG
          2012: 9.4 vs 12.9
          2013: -2.7 vs -1
          2014: 27.4 vs 22.3
          2015: -10.2 vs -12.1
          2016: 15 vs 15.3
          2017: 24.4 vs 20
          2018: -8.8 vs -2.5
          2019: 2.4 vs 1.7

          Jadi saya pribadi tidak akan bilang itu “hasil akhirnya jauh di bawah pasar” sih.

          Kalau indeks SRI KEHATI sudah sewajarnya bisa outperform IHSG, karena >50% di sektor banking/keuangan (yang lagi tokcer) dan tidak punya sektor pertambangan (yang sedang boncors). So it’s quite obvious why.

          Reply
  2. Apakah dengan berinvestasi di RD Indeks, akan mendapat semacam dividen seperti halnya bila berinvestasi di emiten saham?

    Reply
  3. bravo !!! dissecting money, artikel yang tepat di waktu kondisi seperti ini, pasar saham dalam kondisi menyamping, obligasi jangka panjang sedang stagnan, kripto sedang berdarah, buat apa kita pikirin, sungguh melegakan membaca artikel ini .. terima kasih DM

    Reply
  4. Nice doc, kenyataanya saya menerapkan strategi agresif di saham utk uang saya, dengan catatan sy masih belum percaya saham di indonesia bisa utk jangka panjang?dan reksadana indeks utk uang istri saya,?

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!