max-bohme-Skhc2Bm7J4s-unsplash
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

5 Persiapan Finansial Menjelang Resesi Ekonomi

Belakangan ini ramai dibicarakan bahwa tahun 2023 akan menjadi tahun yang gelap dan akan terjadi resesi ekonomi: baik karena laju inflasi, perang Rusia-Ukraina, oil war, ekonomi Cina yang menurun, pemilihan presiden dan lain sebagainya. Hal ini tentunya menimbulkan keresahan kepada banyak orang, sehingga kemudian mempertanyakan apa yang harus dilakukan untuk mempersiapkan diri maupun keluarga menghadapi ancaman resesi ekonomi ini?

Apa itu resesi ekonomi?

Sebelum kita bisa membahasnya bersama teman-teman di saat sedang lunch bersama, pertama-tama, kita harus mengetahui dulu: apa itu resesi ekonomi?

Resesi ekonomi didefinisikan sebagai penurunan produk domestik bruto (PDB) suatu negara dalam 2 triwulan (kuartil) berturut-turut. Sehingga jika kita melihat grafik pertumbuhan PDB Indonesia yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) di bawah (sampai tahun 2021), maka per definisi pun sebenarnya Indonesia baru saja melewati periode resesi ekonomi juga, pada saat pandemi Covid-19 baru dimulai dan mengakibatkan penurunan PDB pada Q1 dan Q2 tahun 2020 berturut-turut.

Artinya, kita baru saja melewati sebuah periode resesi ekonomi, pertumbuhan PDB berhasil menanjak perlahan, tetapi banyak orang yang menutup sebelah mata akan hal baik yang baru saja lalu, sementara terlalu khawatir menghadapi masa depan yang penuh ketidakjelasan.

It’s too common for people to look at the negatives and forgot all about the positives.

Apakah mungkin terjadi lagi periode resesi ekonomi di tahun 2023 walaupun kita baru saja mengalami penanjakan PDB? Apakah kita akan turun ke dalam masa depresi ekonomi berkepanjangan? Jawabannya tentu saja tidak ada yang benar-benar tahu, kecuali kita memiliki bola kristal yang bisa menunjukkan kepada kita apa yang bisa terjadi di masa depan.

Sebuah siklus resesi ekonomi yang berulang

Satu hal yang banyak orang tidak sadari adalah bahwa ekonomi dunia ini berjalan dalam sebuah siklus yang berulang-ulang: dari puncak kemakmuran ekonomi, turun ke masa resesi atau bahkan depresi, lalu perlahan-lahan mengalami pemulihan dan masa ekspansi, lalu kembali ke puncak kemakmuran ekonomi

Jika kita melihat ke belakang ke dalam sejarah ekonomi, maka kita dapat melihat dengan jelas kebenaran akan siklus yang tergambar di atas: perekonomian akan selalu mengalami perlambatan setiap 5 tahun sekali, dan bahkan mengalami periode depresi setiap 10 tahun sekali. Lihat saja contoh-contoh sejarah perekonomian yang memiliki pola ini:

  • Tahun 2020: resesi akibat awal pandemi Covid-19
  • Tahun 2010: subprime mortgage crisis
  • Tahun 2000: Asian financial crisis (krisis moneter)
  • Tahun 1990: Black Monday
  • …dst

Apa yang bisa kita ambil dari fakta ini?

Terjadinya resesi ekonomi merupakan suatu keniscayaan yang pasti akan terjadi. Yang tidak kita ketahui adalah kapan masa resesi tersebut akan dimulai.

Sehingga, krisis atau resesi ekonomi itu tidak seharusnya menjadi suatu hal yang kita takuti, tetapi harusnya menjadi sesuatu yang kita persiapkan untuk hadapi, karena hal itu merupakan sebuah keniscayaan.

Apa saja hal-hal yang harus kita persiapkan selagi menanti masa resesi ekonomi?

Ada 5 hal yang wajib kita persiapkan untuk memiliki kesehatan finansial yang akan tegar menopang keuangan kita melewati masa resesi seperti apapun:

Dana Darurat

Milikilah dana darurat atau cash reserve sejumlah 6 kali pengeluaran bulanan rumah tangga, dan simpanlah dalam bentuk uang tunai di dalam rekening bank terpisah ataupun dalam bentuk yang likuid atau mudah dikonversi menjadi uang tunai dalam waktu yang cepat (misal: reksa dana pasar uang). Dana darurat inilah yang akan menjadi penopang di saat income kita goyah, dan akan menghidupi kita selama 6 bulan ke depan sembari kita mencari peluang lain untuk meningkatkan kembali income tersebut. Dana darurat ini tidak boleh disentuh sama sekali kecuali untuk kebutuhan yang betul-betul darurat.

Asuransi jiwa dan asuransi kesehatan

Kita wajib memiliki proteksi dalam bentuk asuransi jiwa, agar jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada pencari nafkah utama, anggota keluarga akan tetap dapat melanjutkan hidup mereka tanpa harus khawatir akan urusan finansial. Milikilah juga asuransi kesehatan untuk setiap anggota keluarga, karena hal dadakan yang paling sering menghancurkan kesehatan finansial seseorang adalah kebutuhan untuk pengobatan atau perawatan keluarga yang tidak bisa diduga. Jika asuransi jiwa maupun kesehatan swasta masih di luar anggaran, paling tidak kita sudah aman jika sudah memiliki BPJamsostek (sebagai asuransi jiwa) dan BPJS Kesehatan (sebagai asuransi kesehatan).

Rasio utang yang sehat

Kesehatan keuangan sebuah keluarga salah satunya dapat dinilai dari nilai debt-to-income ratio (DIR) yang tidak boleh melebihi angka 36%. Artinya: seluruh cicilan utang kita (termasuk di dalamnya: KPR, KPA, kredit mobil, kartu kredit, utang lainnya) jika ditotal tidak boleh melebihi 36% atau sekitar sepertiga dari jumlah gaji kita setiap bulan. Jika dokter memiliki pendapatan yang tidak tetap, maka ambillah angka rata-rata gaji. Karena jika masa resesi tiba dan total cicilan kita masih sejumlah 40-50% gaji bulanan atau bahkan lebih, percayalah maka kita akan menjadi orang yang paling resah di tempat kerja kita. Jika menjelang resesi kita takut tetapi saat bersamaan kita juga mengambil cicilan mobil untuk 2 tahun ke depan misalnya, maka jangan salahkan resesi ekonomi yang mungkin terjadi, masalah utamanya adalah keputusan kita sendiri yang menjerumuskan kita ke dalam situasi tersebut.

Tujuan investasi yang jelas dan terukur

Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap aset-aset investasi kita? Apakah harus dicairkan dan simpan saja uang tunai seperti banyak disarankan oleh orang-orang di luar sana? Tentu saja tidak, asalkan kita sudah memiliki tujuan investasi yang jelas dan terukur: aset mana yang untuk jangka panjang, menengah maupun jangka pendek, bagaimana alokasi aset kita untuk masing-masing tujuan investasi tersebut. Karena adalah tidak masuk akal jika karena takut akan resesi ekonomi lalu kita mencairkan dana investasi jangka panjang kita, padahal dalam jangka panjang sesuai siklus di atas pada akhirnya perekonomian akan bertumbuh lagi. Just stay the course. Pertanyaan dasarnya tentu kembali ke: apakah tujuan investasi kita sudah jelas dan terukur?

Hidup frugal

Last but not least, kita harus memraktikkan cara hidup frugal atau yang dikenal dengan living below our means. Inilah cara bertahan pertama yang harus kita lakukan di saat ada ancaman atau kekhawatiran akan resesi ekonomi yang (mungkin saja) berkepanjangan. Saat income kita masuk sejumlah 100%, jangan sampai pengeluaran kebutuhan rutin bulanan kita melewati angka 50% dari gaji tersebut, dan jangan sampai pengeluaran untuk keinginan (pengeluaran opsional) melebihi 30%. Tetap sisihkan 20% untuk investasi bahkan di saat resesi, karena justru pada masa-masa ekonomi tertekanlah maka seluruh harga aset menjadi dalam posisi harga yang paling murahnya untuk 10-20 tahun ke depan. Inilah yang dikenal sebagai penganggaran 50/30/20 berturut-turut untuk kebutuhan/keinginan/investasi.

Persiapkanlah kelima hal di atas, dan pasti kesehatan keuangan kita akan aman melewati periode resesi seperti apapun. Pada saat kesehatan keuangan kita aman di kala ekonomi mengalami perlambatan, jangan pernah lupa untuk membantu mereka yang terdampak. That’s how we will get through anything.

During recession: greed dies, frugality survives.

– Amit Kalantri


Apakah sejawat masih khawatir tentang akan terjadinya resesi?
Apa yang sejawat paling takuti akan terjadi saat terjadi resesi?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Max Böhme on Unsplash

www.domainesia.com

2 thoughts on “5 Persiapan Finansial Menjelang Resesi Ekonomi”

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!