j-balla-photography-lWHcpqbaoAk-unsplash
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Jangan Percaya Siapapun Soal Uang

Artikel ini berisi beberapa buah pikiran yang saya ingin bagikan setelah menonton film dokumenter “Trust No One: The Hunt for the Crypto King” di Netflix, yang menceritakan mengenai bagaimana seharusnya kita tidak memercayai siapapun jika itu soal uang.

Jika ada satu hal yang pasti tentang manusia, itu adalah keserakahannya.

Sounds too harsh? I don’t think so, and I’ll tell you the reasons why.

Berikut ini adalah beberapa poin penting yang saya dapatkan dari menonton film dokumenter tersebut (do watch it first if you haven’t, SPOILER ALERT!):

Angka-angka di rekening tidak sama dengan uang tunai

Bagi generasi dahulu kita, jumlah tabungan adalah berapa nominal yang tercatat di dalam buku rekening tabungan bank, dengan segala transaksi yang tercatat di dalamnya. Zaman now, mungkin sudah tidak ada lagi yang mengantri di teller atau antrian customer service bank untuk memohon mencetak buku rekening (generasi millenials bahkan mungkin sudah bingung mendengar istilah “cetak buku tabungan” atau “cetak rekening koran”).

Sekarang, semua menjadi sangat mudah dengan hadirnya aplikasi-aplikasi banking, sekuritas, agen penjual efek reksa dana (APERD), asuransi, ataupun aplikasi finansial lainnya. But, this “easeness” comes with a price, though.

Sebagai contoh, jika Anda melihat saldo rekening di aplikasi bank, maka Anda mungkin akan berpikir bahwa ada sebuah sudut atau lemari khusus di bank dimana uang sejumlah tersebut tersimpan, ditumpuk rapih, dengan nama Anda terpampang di atasnya.

Well, unfortunately, that’s not the case.

Berdasarkan regulasi, bank-bank di Indonesia hanya wajib menyimpan uang tunai sejumlah 7,5% dari seluruh dana nasabah yang masuk, untuk berjaga-jaga apabila nasabah mau mencairkan tabungannya menjadi uang tunai. Dana ini disebut dengan istilah cash reserve atau dapat dibilang sebagai dana darurat bank. Lalu sisa 92,5% itu pergi kemana? Tentu saja jawabannya adalah diinvestasikan oleh bank. Atas dasar inilah maka saya pernah menuliskan bahwa menabung di bank itu tidak ada gunanya. Untuk apa kita menginginkan uang kita “aman” di bank dan tidak kita investasikan jika toh sebenarnya uang itu sedang diinvestasikan juga oleh bank. Bukankah lebih baik jika kita yang menginvestasikannya dan mendapatkan imbal hasil dari uang yang bekerja untuk kita tersebut?

Anyway, beralih dari bank yang sebenarnya “relatif” aman karena dijamin oleh lembaga penjamin simpanan (LPS) sampai sejumlah 2 miliar IDR, bagaimana dengan aplikasi investasi ataupun trading yang sekarang ini banyak sekali digunakan orang?

Well, tentu saja prinsipnya sama: uang yang terpampang di aplikasi tersebut bukan berarti representatif terhadap jumlah uang tunai yang kita miliki. Beberapa waktu yang lalu heboh diberitakan mengenai aplikasi binary option yang ternyata halaman portofolio para influencers atau “trading guru” bisa direkayasa sendiri oleh mereka untuk menipu para member untuk menunjukkan seakan-akan strategi trading mereka berhasil.

They’re smart, but we ought to be smarter.

Remember, IT IS JUST AN APP! It’s just codes after codes written on someone’s computer. It’s just numbers on a screen.

Pada film dokumenter ini diceritakan bahwa persis hal itulah yang terjadi: para pengguna sebuah aplikasi cryptocurrency trading terpaksa menelan pil pahit bahwa selama ini apa yang mereka anggap sebagai uang mereka yang sudah berubah menjadi aset di aplikasi tersebut ternyata hanyalah angka-angka belaka yang terpampang di layar gawai. Ke mana uang aslinya? Sudah digunakan oleh sang founder untuk berfoya-foya.

Jadi bagaimana kita dapat meyakini bahwa uang kita yang dijadikan aset melalui aplikasi itu benar-benar terdata baik dan dapat dikonversikan menjadi uang tunai kapanpun kita mau? Well, satu hal yang dapat kita pastikan adalah apakah aset kita di dalam aplikasi tersebut terdaftar dan terkoneksi terhadap identitas kita di institusi lain yang independen dari aplikasi tersebut. Sebagai contoh, seluruh portofolio aset reksa dana yang saya miliki yang saya beli melalui aplikasi IPOT maupun Bibit terdaftar di akun Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) yang saya miliki, and I can check it through the KSEI app (AKSes), and all the numbers matched.

That’s how I know my assets are not just numbers on a screen, but assets that are well-managed and interconnected between financial or data institutions.

Digital footprint kita akan tercatat selamanya

Pada film dokumenter ini diceritakan bahwa netizen mencari identitas seorang founder aplikasi cryptocurrency trading yang menghilang setelah mencuri uang para pengguna aplikasi sejumlah 250 juta USD atau sekitar 3 triliun 840 miliar IDR.

Yikes. Are those all money? (This is the reason I’m always suspicious with start-up founders. I believe 99% of them only want your money instead of giving you values.)

Singkat cerita, akhirnya melalui penyelidikan digital footprint atau jejak digital, terungkaplah beberapa rahasia mengenai sang founder tersebut yang akhirnya ditemukan identitasnya yang tak lain dan tak bukan merupakan seorang penipu ulung sejak awal.

Disinilah letak permasalahan besar yang tidak banyak orang sadari (terutama generasi millenials ke bawah):

What you put on the web stays FOREVER. There’s no escaping it.

Maka pikirkanlah dulu baik-baik sebelum Anda mengetik sebuah tweet atau mengunggah sebuah vlog:

  • Apa pesan yang ingin Anda sampaikan?
  • Apakah tutur kata Anda layak didengar?
  • Adakah nilai yang orang lain bisa ambil darinya?
  • Apa kira-kira respon orang tua Anda jika mereka melihat konten tersebut?
  • Apa kira-kira pendapat anak-anak Anda kelak jika mereka suatu hari melihat konten tersebut?

Ataukah Anda hanya melakukan itu semua demi engagement? Karena engagement itu hanyalah sementara, tetapi percayalah bahwa apapun yang Anda unggah di internet akan bergaung untuk selamanya, bahkan ketika kita sudah menghapusnya. 

So, always remember: if you light some fire on the internet, someday it will turn and burn you.

Greed always kills

Sehubungan dengan poin sebelumnya, jangan pernah merasa puas dengan berpikir bahwa pencarian jejak digital akan selalu berhasil menemukan penipu di dunia penyedia jasa keuangan. Karena, keberhasilan ditemukan atau tidaknya para penipu tersebut sama sekali tidak berbanding lurus dengan kemungkinan uang Anda yang hilang akan kembali. Bahkan, hampir seluruh kasus penipuan di dunia penyedia jasa keuangan ini berujung kepada para investor yang hanya bisa gigit jari.

Mengapa?

Well, because they themselves put their money in something that they knew (next to) nothing about.

Menjelang akhir dari film dokumenter inipun didokumentasikan demikian. Pada akhirnya, meskipun semua fakta sudah menunjukkan bahwa founder yang telah mencuri uang mereka sudah meninggal dunia, mereka yang tertipu pun terbagi menjadi 2 kubu: mereka yang menerima fakta bahwa hilangnya uang mereka adalah akibat keserakahan mereka sendiri, dan mereka yang terus mencoba menyusun teori konspirasi bahwa penipu tersebut mungkin masih hidup dan berharap uang mereka masih mungkin bisa kembali. Menyedihkan, bukan?

Keserakahan selalu akan berakhir ke kematian, baik secara harfiah (kematian sang founder) maupun secara metafora (kematian kepribadian para investornya).

Bukankah sudah sering diceritakan demikian di dongeng-dongeng saat kita masih kecil dulu?

Mungkin di titik ini saya harus kembali mengingatkan sejawat sekalian betapa lemahnya posisi investor ritel seperti kita di tengah-tengah para raksasa penyedia jasa keuangan, yang seringkali saya ibaratkan sebagai ikan teri di kolam paus:

Jika kita mempelajari sejarah krisis ekonomi global di tahun 2008 yang disebabkan karena subprime mortgage crisis di Amerika Serikat, maka kita dapat melihat bahwa kerugian yang diakibatkan krisis finansial ini terhadap investor ritel luar biasa besar. Bahkan, yang paling merasakan imbasnya justru mereka yang tidak mengerti apa-apa tentang investasi dan hanya mengandalkan potongan gaji yang diwajibkan oleh negara untuk dana pensiun mereka. Akibat krisis ini, diperkirakan dana pensiun mereka hilang sekitar 23% dari nilai aslinya, dan diperkirakan kerugiannya mencapai 5,4 triliun USD (yup, that’s USD, not IDR). Dapat kita perkirakan sendiri berapa jumlah orang yang “gagal pensiun” dikarenakan krisis ini.

Lalu berapa banyak petinggi penyedia jasa keuangan yang dipenjara di Amerika Serikat karena kasus ini? Hanya SATU orang, dan beliau pun hanya dipenjara selama kurang dari 3 tahun.

Apakah sebanding dengan berapa besar uang yang menguap begitu saja dari kantong para investor ritel? Silakan simpulkan sendiri.

No one else cares about the safety of our money beside our own self.

Film dokumenter ini mengingatkan kita lagi bahwa literasi keuanganlah yang harus senantiasa dikedepankan terlebih dahulu di dalam perjalanan seseorang di dalam mengatur keuangan pribadinya, sebelum memusingkan memilih instrumen apa yang paling cocok untuknya (I hate that question, as y’all already know). Karena literasi keuangan inilah yang akan menjadi prediktor kesuksesan pengaturan keuangan pribadi seseorang, bahkan prediktor utama seseorang akan berhasil pensiun atau tidak.

Jangan sampai keterbelakangan literasi keuangan kita menggiring kita sampai jatuh ke dalam investasi bodong sebagaimana diceritakan di dalam film dokumenter ini. Apalagi bagi para dokter yang merupakan sasaran empuk dari para penggiat investasi bodong.

Jadi, sudah seberapa dalam kira-kira Anda mengetahui di mana Anda menginvestasikan uang Anda untuk masa depan?


Apakah Anda merasa bahwa keserakahan masih menjadi faktor penting di dalam penentuan instrumen investasi?
Apakah masih ada instrumen yang Anda sebenarnya tidak pahami secara mendalam?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by J. Balla Photography on Unsplash

www.domainesia.com

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!