samantha-gades-BlIhVfXbi9s-unsplash-1
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Dokter Minimalis

Jika seseorang bicara mengenai sesuatu yang minimalis, maka biasanya yang terlintas di pikiran kita adalah dekorasi rumah atau desain yang minimalis. Pada artikel kali ini, saya akan membahas bagaimana seorang dokter bisa memiliki konsep hidup yang minimalis, dan bagaimana konsep tersebut bisa membantu mengantarkan seorang dokter ke tahap kebebasan finansial.

The Minimalists

Batang tubuh dari artikel ini terinspirasi dari The Minimalists, sebuah blog yang dibuat oleh Joshua Fields Milburn dan Ryan Nicodemus, dua orang sahabat yang lelah dengan perjalanan karir yang sangat kompetitif dan berbalik 180 derajat menjadi orang-orang yang menjalani hidup dengan konsep minimalisme/gaya hidup minimalis.

Salah satu hal mengapa mereka sangat menginspirasi saya adalah karena mereka juga memulainya dengan membagikan apa yang mereka percayai melalui sebuah blog, dan ternyata banyak sekali orang yang juga lelah dengan hidup yang “sikut-sikutan” untuk menjadi yang paling (terlihat) kaya, sehingga akhirnya konsep ini dikembangkan sampai menjadi sebuah buku dan bahkan 2 episode film dokumenter di Netflix. (I hope this blog will also become a book, here’s to dreaming!)

Di dalam konten-kontennya, mereka menjabarkan konsep-konsep mengapa hidup lebih masuk akal jika hidup kita tidak terlalu banyak barang-barang konsumtif yang tidak ada gunanya, dan langkah-langkah praktis agar orang lain pun bisa mengadopsi cara hidup demikian.

Dalam artikel ini, saya tidak akan membahas mengenai praktik cara hidup minimalis agar sejawat bisa mengurangi barang-barang yang tidak penting, tetapi saya lebih akan membahas mendalam mengapa konsep ini sangat masuk akal dan sangat bisa membantu mempercepat perjalanan seorang dokter menuju tahap kebebasan finansial.

Pada saat ditanyakan mengapa hidup minimalis itu masuk akal, jawaban mereka pun sederhana:

Karena di zaman sekarang, orang bisa memiliki segala hal.

Budaya zaman sekarang

Mungkin sejawat sekalian sudah pegal telinganya mendengar hal ini, tetapi akan saya ulang-ulang terus karena repetition is everything when it comes to studying: dunia di revolusi industri 4.0 atau yang dikenal dengan zaman the internet of things (IOT) terlalu menjunjung tinggi pola hidup yang konsumtif (konsumerisme).

Orang-orang menilai, dan kita sendiri pun merasa, dinilai oleh orang lain berdasarkan barang-barang yang kita miliki dan kita tunjukkan ke orang lain. Dokter spesialis yang menggunakan 2 smartphones flagship terbaru (satu Apple, satu Android), turun di lobi dengan mobil mewah Eropa yang disopiri, dengan backpack atau purse branded, arloji mewah, sepatu branded, dan lain sebagainya.

Pada saat membangun rumah dan mendekorasinya pun, kita selalu menyimpan di pikiran kita bahwa semuanya harus terlihat mewah/indah, dan bahkan bukan untuk orang lain lihat saat mereka bertamu, tetapi agar stories di media sosial pun kita dinilai memiliki hidup yang mewah.

Coba saja tanyakan sendiri seberapa sering sejawat sekalian melihat feed atau story sejawat lain dan berpikir “dari mana dia mendapat uang untuk hidup demikian ya?”

Lebih menyedihkannya lagi, jawaban atas pertanyaan tersebut, yang sangat tersembunyi dari konsumsi publik, adalah consumer debt/utang konsumtif.

Zaman sekarang, orang-orang rela lompat sendiri ke dalam jurang utang konsumtif hanya demi feed dan story yang tampak menarik di media sosial.

Sangat menyedihkan jika kita pikirkan lebih mendalam, karena berarti orang-orang yang demikian sangat mementingkan penilaian orang lain terhadap dirinya/keluarganya, dan tidak bisa menemukan makna hidup tanpa melakukan demikian.

Big fat nothing

  • Ganti smartphone keluaran terbaru, hanya untuk menggantinya dengan yang lebih baru 3 tahun lagi.
  • Cicil mobil baru, hanya untuk kemudian dijual dan mencicil mobil baru lagi 5 tahun lagi.
  • Menjadwalkan perjalanan ke IKEA akhir pekan, hanya karena perabotan yang dibeli 7 tahun yang lalu sudah terlihat “membosankan.”
  • Beli sepatu branded yang sedang trending, karena 7 pasang sepatu lainnya sudah tidak baru lagi untuk dipampang di Instagram story.
  • Pesan panci masak seharga 13 juta IDR, karena semua selebgram memberikan testimony bahwa masak apapun tidak lengket sama sekali, and that’s just what I need in life!

Where do you draw the line?

Chasing “everything” eventually rolled into a big-fat NOTHING. And sadly, usually people won’t realize this until it’s too late (read: on their dying bed).

Di dalam film dokumenter Netflix tentang minimalisme bagian kedua, yang berjudul The Minimalists: Less is Now, bahkan dikatakan bahwa:

Almost everyone who turned to minimalism were stressed, overworked and exhausted people.

Mereka terus-menerus membanting tulang, bekerja, jatuh ke dalam jerat utang, hanya karena mengejar apa yang masyarakat ramai nilai sebagai “kesuksesan.”

Were they happy? Not even close.

Bagi dokter, hal ini biasanya berujung kepada burnout.

Downsize your way to happiness

Tagline yang digunakan untuk “membangunkan” orang-orang dari ilusi kebahagiaan dari mendapatkan segalanya pun sangat counter-culture, yaitu “downsize your way to happiness,” atau dengan kata lain mengatakan bahwa Anda harus balik arah 180 derajat, karena ternyata kebahagiaan tidak ada di ujung jalan yang sedang Anda tempuh.

Cara-caranya dijabarkan lebih mendetil di dalam blog The Minimalists dan di dalam e-book yang dibagikan secara gratis, sehingga tidak akan saya bahas mendalam di sini. Tetapi, untuk mudahnya, yang perlu kita pikirnya hanya berhenti sejenak dan berpikir:

  • Barang-barang apa yang sebenarnya esensial?
  • Barang-barang apa yang saya butuhkan?
  • Berapa banyak dari barang-barang yang saya miliki menambahkan nilai ke dalam kehidupan saya?

Jika kita tidak secara sadar menyuruh seluruh tubuh, jiwa dan raga ini untuk berhenti sejenak dan mempertanyakan hal-hal tersebut, maka tanpa kita sadari kita sudah terhipnotis ke dalamnya, tanpa menyadari bahwa barang yang kita beli ternyata bukanlah barang-barang yang betul-betul kita inginkan.

Wait, what?

You heard me right.

Barang-barang yang Anda beli belum tentu sebenarnya merupakan barang yang Anda inginkan.

Mengapa demikian? Karena era digital marketing sekarang merupakan era targeted advertising, dimana semua manusia yang memegang smartphone merupakan pangsa pasarnya. Seluruh data dikumpulkan dari smartphone Anda dan dianalisa untuk kemudian dikembalikan kepada Anda sebagai “saran-saran” dari mereka untuk Anda agar hidup Anda terasa lebih lengkap.

Jika Anda banyak melakukan pencarian di Google atau YouTube tentang panci masak atau video review panci tersebut, maka percayalah bahwa berikutnya Anda membuka aplikasi online shopping, maka barang tersebutlah yang akan muncul di aplikasi tersebut (atau bahkan muncul push notification bahwa harga barang tersebut sedang diskon).

So the next time you see an advertisement on this blog, or while watching YouTube videos, and you think to yourself “wow this thing is just what I need in life,” THINK AGAIN!

You don’t really want/need those stuff, those are just the end results of artificial intelligence, showing you that you MIGHT want those stuff.

Aneh, bukan? Ternyata isi kepala kita bukanlah isi kepala kita sebenarnya, tetapi merupakan hasil dari hipnotis-jangka-panjang yang sudah berjalan sekian lama tanpa kita menyadarinya. Setiap hari kita dibombardir dengan iklan-iklan yang perlahan-lahan namun lantang menanamkan pola pikir di dalam otak kita bahwa “HIDUP ANDA BELUM CUKUP!!!”

Realize this, and I promise you, you’ll be a much more matured person in terms of digital literacy and, of course, in spending your money wisely.

Ekspansi vertikal

Hal terakhir yang ingin saya ungkapkan mengenai minimalisme terkait dengan kesalahan terbesar dokter yaitu dalam hal inflasi gaya hidup. Dalam istilah bahasa Inggris sering dikenal dengan istilah “keeping up with the Joneses.”

Di era media sosial, maka standar gaya hidup yang menjadi “makanan” bagi otak kita setiap hari adalah gaya hidup artis-artis atau influencer, yang sudah jelas bahwa gaya hidupnya sangat mewah dan mungkin (hampir pasti) tidak cocok untuk kondisi keuangan kita.

Sehingga, di antara realita keuangan kita dan gaya hidup yang kita adopsi ada sebuah ekspansi vertikal yang membuat sebuah jurang. Jurang kehidupan finansial yang sama sekali tidak mementingkan bagaimana cara membangun kekayaan untuk hidup di masa pensiun kelak, tetapi lebih mengedepankan bagaimana hidup kita dilihat oleh orang lain di masa sekarang.

Apakah kita seharusnya peduli dengan pandangan orang lain? Tentunya sejawat sekalian sudah sering mendengar kutipan berikut ini:

We buy things we don’t need, with money we don’t have, to impress the people we don’t like.

Sebagai penutup, maka sesuai dengan arahan dari The Minimalists, fokuskanlah kehidupan Anda pada:

  • Komunitas, bukan konsumerisme
  • Memberi, bukan mengambil
  • Manusia, bukan barang

Be a minimalist doctor, embarking on your journey towards FIRE.


Apakah Anda sudah pernah mendengar tentang gaya hidup minimalis?
Bagaimana kontrasnya dengan gaya hidup yang Anda miliki sekarang?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Samantha Gades on Unsplash

 

www.domainesia.com

12 thoughts on “Dokter Minimalis”

  1. Awal2 jadi dokter hobi bgt beli baju dan tas. 1th terakhir semua tas dan baju yg jarang dan bahkan blm sempat dipakai, aku kasih ke orang2 yg perlu. Menyisakan 2 tas yg tangguh utk dpakai gantian. Mobil 2nd bukan yg terbaru, yg penting bisa nyaman antar 2 balita ke sekolahnya, mondar mandir ke RS dan klinik tanpa kepanasan dan kehujanan. Hanya tersisa cicilan KPR rumah. Saat ngiler sesuatu aku lihat terus review barangnya sampe bosen habis itu udah, nggak di beli ?

    Salah satu pengalaman mahal, lihat sejawat saat terpapar covid, dan kita tau persis beliau tulang punggung dg buanyak cicilan, jadi sm badan sendiri nggak bisa fokus menjaga karna ingin ngebut praktek dan praktek ??

    Terimakasih sudah mengingatkan ini dok.

    Reply
    • Dengan senang hati dok.

      Betul sekali, kesehatan tubuh dan mental karena punya waktu berolahraga, punya waktu dengan keluarga tanpa harus memikirkan bagaimana membayar cicilan bulan ini itu tidak bisa diukur dengan uang. Orang seringkali tidak bisa melihat hal ini karena tidak ada nominal uangnya, sementara kalau praktek = uang masuk.

      Pandemi ini sangat membuka mata kita akan pentingnya hal tersebut.

      Reply
  2. Sudah menerapkan gaya hidup minimalis ini selama hampir 6th, dengan tidak membeli hp baru seblum bnr2 rusak, mobil yang itu2 aja, bahkan lemari baju tidak pernh terlihat penuh krna bnr2 jrg sekali mmbeli yg baru, melihat media sosial saat ini yg penuh dg perlombaan pamer gaya hidup dari teman sejawat ga mmbuat saya ingin menirunya walau hnya 1 detik ? krna sudah prnh mengalaminya dan mmg bnr tidak ada bahagia didalamnya.

    Reply
  3. sebuah artikel sentilan buat kami yang terjebak dalam siklus konsumerisme tanpa akhir,, senang rasang pemaparannya sangat gamblang, dan tepat sasaran,, kami pun tersadar , masih jauh dari gaya minimalist..terima kasih dok.. kami akan terus belajar,.. salam hangat

    Reply
  4. Pemaparan yang simple tapi ngena banget. Terimakasih sudah di “tampar” supaya kita terbangun dari kehidupan orang lain dan memulai hidup di kehidupan diri sendiri.

    thank you doc

    Reply
  5. Terima kasih Dokter atas sentilan yang sangat mengena. Selama ini memang sudah terhipnotis dengan sosmed dan baru tersadar setelah membaca artikel ini.

    Salam

    Reply
  6. tks for the nice article doc!
    next i hope you will make an article like some empiric tips at work (as a doctor), to not be trapped in consumerism, especially for young generation doctor (GP).

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!