nathan-dumlao-pMW4jzELQCw-unsplash
Picture of Dissecting Money

Dissecting Money

DomaiNesia

Alokasi Aset dan Diversifikasi

Mayoritas investor sudah pasti pernah mendengar atau bahkan sudah memahami apa yang dimaksud dengan diversifikasi investasi, tetapi pada saat topik yang dibicarakan adalah alokasi aset, banyak yang tidak memiliki pemahaman mendalam mengenai ini.

Pada artikel ini saya akan membahas lebih dalam apa sebenarnya perbedaan antara alokasi aset dan diversifikasi? Mengapa seorang investor wajib mengetahui kedua hal ini, terutama dalam rangka berinvestasi untuk tujuan-tujuan investasi jangka panjang?

Klasifikasi kelas aset

Seperti halnya diagnosis penyakit, dimana dengan memiliki sebuah sistem klasifikasi maka seorang dokter akan sangat dipermudah dalam mengambil keputusan untuk penatalaksanaannya, maka di dalam berinvestasi pun demikian: kita harus mengetahui terlebih dahulu bagaimana kelas-kelas aset itu diklasifikasikan.

Secara umum, kelas aset diklasifikasikan menjadi 2 golongan besar, yaitu aset tradisional dan nontradisional.

Yang tergolong di dalam kelas aset tradisional adalah:

  • Saham
  • Obligasi/surat utang
  • Uang tunai

Sementara, yang tergolong di dalam kelas aset nontradisional lebih banyak, antara lain:

  • Komoditas (emas, perak, dll)
  • Valuta asing/foreign exchange/currency
  • Properti/tanah
  • Cryptocurrency
  • Barang-barang koleksi (lukisan, perabotan, batu mulia, kartu basket, non-fungible token, dll)
  • Instrumen turunan/derivatif (contoh: kontrak perdagangan komoditas berjangka)

Dari klasifikasi di atas saja, sejawat dapat mengerti sekarang mengapa saya tidak pernah membahas secara mendalam mengenai instrumen-instrumen di luar kelas aset tradisional, karena memang pada dasarnya jauh lebih penting untuk kita memahami luar-dalam aset-aset yang tradisional lebih dahulu, ketimbang langsung berpetualang ke aset-aset nontradisional.

Sekarang sejawat juga dapat memahami mengapa menurut saya aplikasi Bibit merupakan aplikasi investasi yang paling “waras,” karena penganjuran untuk alokasi aset di dalam portofolio yang dianjurkan oleh mereka pun tersebar hanya ke dalam 3 aset tradisional yang telah disebutkan di atas.

Diversifikasi dan alokasi aset

Lalu apa yang menjadi pembeda antara diversifikasi dengan alokasi aset? Mengapa banyak sekali kita dengar mengenai kebutuhan untuk melakukan diversifikasi untuk manajemen risiko dalam berinvestasi, tetapi terlalu jarang kita mendengar mengenai alokasi aset.

Well, partly karena orang-orang sering menyebut pengalokasian aset sebagai diversifikasi juga. Which is not inherently wrong, tetapi akibatnya pikiran kita jadi sering tertukar mengenai apa itu diversifikasi, dan apa bedanya dengan alokasi aset.

Untuk mempermudah jalan pikir kita di dalam berinvestasi, maka lebih baik kita berpikir sesuai dengan pengertian yang dipermudah sebagai berikut:

  • Diversifikasi: pembagian/penyebaran dana investasi di dalam satu kelas aset.
  • Alokasi aset: pembagian/penyebaran dana investasi ke kelas-kelas aset yang berbeda.

Sehingga kita dapat lebih mudah memahami sekarang bahwa jika (setelah melakukan budgeting) seseorang menggunakan dana investasinya untuk membeli 5 emiten saham individu untuk suatu portofolio (contoh: dana pensiun), maka sejatinya yang dilakukan investor tersebut hanyalah diversifikasi. Sementara dari segi kelas aset, investor ini memiliki sebuah portofolio yang komponennya terdiri dari 100% saham, which some (including myself) would say as too risky.

Inilah salah satu alasan mengapa reksa dana indeks merupakan instrumen yang paling memudahkan investor dalam berinvestasi jangka panjang, karena diversifikasi di dalam kelas asetnya (saham) sudah berjalan secara otomatis. Manajer investasinya sudah akan mengatur agar portofolio investasinya terdiversifikasi sesuai indeks yang diikuti. Sehingga, yang perlu dilakukan oleh investor tinggal mengatur alokasi aset di dalam sebuah portofolio (menaruh sebagian di reksa dana obligasi/pendapatan tetap, misalnya).

Contoh lain yang lebih salah kaprah lagi adalah jika seseorang sudah melakukan alokasi aset dan diversifikasi, tetapi alokasi aset tersebut tidak spesifik untuk sebuah portofolio. This happens A LOT.

Jika Anda bingung, saya akan berikan sebuah contoh: seorang investor berinvestasi dengan alokasi aset yang sudah ditetapkan sebagai berikut:

  • 70% RD saham
  • 20% RD obligasi
  • 10% RD pasar uang

Namun, saat ditanyakan investasi tersebut untuk tujuan investasi yang mana, investor tersebut mengatakan bahwa itulah lokasi aset untuk keseluruhan dana investasinya, baik untuk dana pensiun, dana pendidikan anak, tujuan-tujuan jangka pendek-menengah, dsb. Hal ini akan memusingkan investor pada saat dananya perlu dicairkan – dicairkan dari instrumen yang mana? So, beware of this common misunderstanding.

Contoh terakhir yang cukup sering juga terjadi adalah: seorang investor membagi alokasi aset berdasarkan tujuan investasinya:

  • RD saham untuk dana pensiun
  • RD obligasi untuk dana pendidikan anak
  • RD pasar uang untuk dana darurat

Selain dari RD pasar uang yang sudah tepat digunakan untuk dana darurat, untuk tujuan-tujuan investasi yang lain jadi tidak ada alokasi asetnya sama sekali: dana pensiun 100% di instrumen saham, dana pendidikan 100% di instrumen obligasi. Which, again, is not a very wise thing to do.

Jadi perlu diingat-ingat dan diulang-ulang kembali di dalam pikiran kita bahwa:

Setiap tujuan investasi membutuhkan alokasi aset dan diversifikasi.

Mengapa alokasi aset harus dilakukan?

Jawaban singkatnya adalah: untuk manajemen risiko.

Tetapi untuk memahami bagaimana pengalokasian aset bisa dianggap sebagai suatu upaya untuk memitigasi risiko, kita harus memegang dulu prinsip dasarnya bahwa:

Imbal hasil dari setiap kelas aset tidak selalu berjalan bersama.

Di saat bursa saham membanteng, biasanya nilai obligasi akan menurun (dan sebaliknya). Di saat bursa saham memberuang, maka nilai emas akan meningkat, dan lain sebagainya. Sebetulnya hal ini tidak lepas dari unsur psikologi (behaviour) dari para investor yang tidak akan pernah lepas dari dunia finance secara keseluruhan.

Karena dangkalnya pemahaman mengenai hal ini, maka sering sekali kita dengar pertanyaan “instrumen investasi apa yang bagus untuk saat ini?” Yang sebenarnya merupakan pertanyaan yang sangat salah di dalam pola pikir berinvestasi. When you really put your head down and think about it, it is wrong on so many levels. You’re investing not just for today, tomorrow, or next month. You’re investing for 20-30 years from now.

So why should you care about “what instrument is hyped right now?”

Apabila Anda sudah memahami bahwa imbal hasil dari masing-masing kelas aset tidak berjalan bersamaan, barulah Anda bisa memahami pentingnya alokasi aset di dalam perencanaan investasi untuk jangka panjang: agar pada saat satu kelas aset mengalami penurunan, maka Anda memiliki “penyeimbang” imbal hasil portofolio Anda dari kenaikan kelas aset yang lain.

Pada saat Anda sudah menetapkan alokasi aset yang tetap, maka Anda tidak akan terlalu terpengaruh secara psikologis untuk kemudian mencairkan dana investasi Anda sebelum waktunya (dan seringkali merupakan momen yang salah).

Sebagai contoh, bayangkan jika kondisi bursa saham sedang terjun bebas sebanyak 30% dalam 3 bulan. Seorang investor  yang memiliki portofolio dengan alokasi aset 50% saham dan 50% obligasi tentunya akan merasa jauh lebih “tenang” melihat penurunan ini (karena masih melihat kenaikan harga aset obligasinya) dibandingkan dengan investor lain yang memiliki portofolio 100% merah darah di saham.

Portfolio rebalancing

Ada baiknya sejawat mendengarkan juga episode podcast yang berjudul “Fixed Asset Allocation and Portfolio Rebalancing,” karena sudah saya bahas dengan sangat mendalam keterkaitan antara alokasi aset dan portfolio rebalancing.

Alokasi aset dan portfolio rebalancing dapat dianalogikan seperti sepatu kiri dan kanan (seperti lagu Tulus), karena kedua hal ini merupakan 2 komponen yang tidak boleh terpisah dari satu sama lain di dalam perencanaan investasi jangka panjang.

Jika alokasi aset merupakan penetapan proporsi pembagian dana ke kelas-kelas aset yang berbeda, maka portfolio rebalancing adalah penyeimbangan kembali proporsi kelas-kelas aset tersebut ke proporsi awalnya.

Sebagai contoh misalnya seorang investor menaruh uang sejumlah 100 juta IDR di dalam portofolio untuk dana pensiun yang terdiri dari 50% saham dan 50% obligasi (sesuai dengan profil risikonya). Karena kebetulan di tahun berjalan tersebut bursa saham baru saja beranjak dari bear market, maka investor ini mendapatkan imbal hasil sebesar 20% dari saham dan 5% dari obligasi, dan dana pensiunnya sementara ini menjadi sejumlah 112 juta 500 ribu IDR.

Namun, jika dilihat kembali proporsi uang di dalam masing-masing kelas aset, ternyata proporsinya sudah bergeser menjadi 55% di saham dan 45% di obligasi. Keuntungan yang lebih besar dari saham ini menyebabkan portofolio investor tersebut “condong” ke saham sebesar 5%, yang berarti investor tersebut sedang mengambil risiko lebih dari profil risiko dia di awal.

Sehingga untuk melakukan penyeimbangan kembali (rebalancing), maka yang harus dilakukan oleh investor ini adalah menjual 5% keuntungannya dari saham tersebut dan membeli obligasi, sehingga persentasi alokasi aset di dalam portofolio dana pensiunnya kembali ke 50% saham dan 50% obligasi.

Jika Anda menyadarinya, maka dapat kita lihat bahwa aksi portfolio rebalancing ini, selain mengembalikan proporsi alokasi aset ke semula, juga “memaksa” investor untuk menjual aset saat harganya sedang tinggi dan membeli aset lain yang harganya sedang lebih murah.

Seberapa sering seharusnya portfolio rebalancing ini dilakukan? Hal ini kontroversial, karena tidak ada yang bisa mengemukakan periode waktu paling baik sebelum melakukan portfolio rebalancing, tetapi umumnya dilakukan setiap 6 bulan atau 1 tahun sekali. Tidak ada faedahnya juga jika dilakukan terlalu sering, karena akibatnya dana yang dicairkan akan banyak terpotong oleh biaya-biaya transaksi (pembelian dan/atau penjualan).

Manajer investasi yang merupakan investor “profesional” pun melakukan portfolio rebalancing ini secara periodik, karena mereka betul-betul memahami bahwa proporsi yang terlalu condong ke suatu kelas aset tertentu akan membawa risiko lebih di dalam imbal hasil portofolio secara keseluruhan.

Kita sebagai investor ritel tertinggal dan tidak pernah dibukakan matanya mengenai seberapa pentingnya alokasi aset dan portfolio rebalancing di dalam perjalanan investasi kita.

But now, your eyes are opened.

Now let’s start marching towards FIRE, comrades.


Apakah Anda masih sering bingung antara diversifikasi dan alokasi aset?
Apakah portofolio Anda sudah terbagi dalam kelas aset berbeda?
Tinggalkan komentar di kolom di bawah.

Photo by Nathan Dumlao on Unsplash

www.domainesia.com

2 thoughts on “Alokasi Aset dan Diversifikasi”

  1. hiyaakk bwetull sekali ,,, ” alokasi aset” dan ” diversifikasi” , pemahaman ini didapat setelah melalui proses jatuh bangun dalam membangun aset, sebuah sinar terang setalah membaca artikel ini ,, acapkali pertanyaan ” eh invest dimana yang bagus” berdatangan , sekarang artikel ini bisa menjadi jawaban .. terima kasih asupanya dok,, salam hangat

    Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.

Weekly newsletter

Suntikan literasi keuangan (dan kehidupan) mingguan di tengah kesibukan Anda!